❋❋❋❋❋❋❋❋❋❋❋❋❋❋❋
Oleh: Balmindra
Perang tidak jua kunjung berhenti, padahal mereka telah menawarkan kehancuran, kematian, kelaparan dan kesengsaraan abadi. Anaknya telah tiada akibat ditembus besi panas, suaminya mati dalam seretan penyiksaan. Kini siapakah orang yang akan menjadi tumpuan kebahagiaan dalam hidupnya?
Kiri kanan rumah-rumah telah rubuh bagai abu, padahal di seberang sana dahulunya warung kebab daging kambing. Tapi kini apa, di sana sekarang hanyalah reruntuhan berjejakan darah manusia tak berdosa.
Ia terus berjalan di antara reruntuhan bangunan yang berasap tanah gurun, mata cokelatnya berlinang air mata. Angin sepoi-sepoi mengibarkan jubah nan hitam, mulutnya yang selalu melafadz nama Allah ditutup cadar abu-abu yang berasal dari sorban almarhum sang suami. Tanganya menggenggam karung berisi bebatuan.
Si wanita menghentikan langkahnya sejenak, dipandangnya langit biru putih yang dipijar sang matahari.
“Ya Allah ya Tuhanku, Yang Maha Agung, Yang Maha Halus, nan mampu menembus hati hambanya, jika ini jihad, hamba rela mati atas namaMu,” tangisnya bergelimang, dengan hati gemetar dia lanjut berucap, “Jika hari ini adalah hari terakhir bagi hamba Ya Allah, relakanlah besok menjadi hari dimana kebenaran bertemu selatnya, berdiri di puncak gunung yang menembus langitmu. Amin.”
Kiri kanan rumah-rumah telah rubuh bagai abu, padahal di seberang sana dahulunya warung kebab daging kambing. Tapi kini apa, di sana sekarang hanyalah reruntuhan berjejakan darah manusia tak berdosa.
Ia terus berjalan di antara reruntuhan bangunan yang berasap tanah gurun, mata cokelatnya berlinang air mata. Angin sepoi-sepoi mengibarkan jubah nan hitam, mulutnya yang selalu melafadz nama Allah ditutup cadar abu-abu yang berasal dari sorban almarhum sang suami. Tanganya menggenggam karung berisi bebatuan.
Si wanita menghentikan langkahnya sejenak, dipandangnya langit biru putih yang dipijar sang matahari.
“Ya Allah ya Tuhanku, Yang Maha Agung, Yang Maha Halus, nan mampu menembus hati hambanya, jika ini jihad, hamba rela mati atas namaMu,” tangisnya bergelimang, dengan hati gemetar dia lanjut berucap, “Jika hari ini adalah hari terakhir bagi hamba Ya Allah, relakanlah besok menjadi hari dimana kebenaran bertemu selatnya, berdiri di puncak gunung yang menembus langitmu. Amin.”
Berjalanlah wanita itu, bergerak menanjaki aspal yang telah kupak karena dilalui mesin perang. Langkahnya bagai angin, tanpa alas kaki, ia biarkan telapak kaki dibakar jejak panas matahari. “Allahuakbar, Allahuakbar!” terdengar suara sorak umat manusia di mana-mana, mereka semua berjihad melawan para tentara zionis yang bersenjata lengkap. Sedangkan kaum jihad hanya bersenjata alat-alat seadanya saja.
Tanpa lupa mengucap asma Allah, si wanita berlari menembus pasukan jihad yang tengah melawan tentara zionis. Tembakan tentara zionis melayang satu persatu, menumbangkan para penjihad kebenaran itu. Tapi hati si wanita tak surut, dilompatinya mayat-mayat yang tumbang, dilontarkanya batu-batu dalam karung seumpama Nabi Ibrahim As melontarkan batu ke wajah syaitan.
Pakaian hitam panjangnya bergemuruh kencang akibat melawan arah angin. Cadar abu-abu yang berasal dari sorban peninggalan sang suami terlepas, seiring dengan tembakan peluru tajam yang menembus dadanya. Darah seketika menyeruak dari mulut wanita malang itu, penglihatanya berkunang-kunang. Dengan suara serak yang telah berimpit tetesan air mata. Sang wanita tetap mengumpulkan tenaganya.
“Ya Allah biarkan batu terakhir ini menjadi tanda terakhir bagi hamba. Allahuakbar!!” soraknya menggema siang nan terik.
Dilemparkanlah batu terakhir dengan sepenuh tenaga, hingga menghantam kepala seorang tentara zionis dan menjadikannya tumbang.
Si wanita pun ikut terjatuh menelentang, kini tiada lagi tenaganya. Rubuh di antara puluhan mayat. Sesekali para pejuang jihad lain melompati raganya yang tak berdaya.
“Lailahailallah Muhamaddarasulullah....”
Matanya terpejam untuk selamanya, kini dia telah beristirahat di pangkuan Allah SWT. Menghadap Allah sebagai tentara wanita terhormat yang baru menang usai perang. []
Source: www.islampos.com
Tanpa lupa mengucap asma Allah, si wanita berlari menembus pasukan jihad yang tengah melawan tentara zionis. Tembakan tentara zionis melayang satu persatu, menumbangkan para penjihad kebenaran itu. Tapi hati si wanita tak surut, dilompatinya mayat-mayat yang tumbang, dilontarkanya batu-batu dalam karung seumpama Nabi Ibrahim As melontarkan batu ke wajah syaitan.
Pakaian hitam panjangnya bergemuruh kencang akibat melawan arah angin. Cadar abu-abu yang berasal dari sorban peninggalan sang suami terlepas, seiring dengan tembakan peluru tajam yang menembus dadanya. Darah seketika menyeruak dari mulut wanita malang itu, penglihatanya berkunang-kunang. Dengan suara serak yang telah berimpit tetesan air mata. Sang wanita tetap mengumpulkan tenaganya.
“Ya Allah biarkan batu terakhir ini menjadi tanda terakhir bagi hamba. Allahuakbar!!” soraknya menggema siang nan terik.
Dilemparkanlah batu terakhir dengan sepenuh tenaga, hingga menghantam kepala seorang tentara zionis dan menjadikannya tumbang.
Si wanita pun ikut terjatuh menelentang, kini tiada lagi tenaganya. Rubuh di antara puluhan mayat. Sesekali para pejuang jihad lain melompati raganya yang tak berdaya.
“Lailahailallah Muhamaddarasulullah....”
Matanya terpejam untuk selamanya, kini dia telah beristirahat di pangkuan Allah SWT. Menghadap Allah sebagai tentara wanita terhormat yang baru menang usai perang. []
Source: www.islampos.com
No comments:
Post a Comment